Subscribe to our RSS Feeds
Hello, this is a sample text to show how you can display a short information about you and or your blog. You can use this space to display text or image introduction or to display 468 x 60 ads and to maximize your earnings.

http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2013/06/11/227308/Harus-Pandai-Mengambil-Hati-Anjing

0 Comments »
http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2013/06/11/227308/Harus-Pandai-Mengambil-Hati-Anjing
MAS Celathu berjanji tidak akan lagi menyepelekan kuku. Dia bersumpah bakal lebih peduli merawat dan memotong kuku. Lo, memangnya kenapa kok tiba-tiba kuku jadi persoalan serius, seakan-akan tidak ada soal lain yang lebih gawat untuk dibicarakan?
Bukankah perkara kedelai dan tempe hari ini lebih urgen untuk diomongkan? Atau soal rontoknya harga-harga saham yang mengancam lahirnya resesi global dan bisa dipastikan bakal membikin perekonomian Indonesia njengkelit nggak karuan?
''We la, jangan menyepelekan kuku. Saya sudah kena akibatnya,'' sergah Mas Celathu.
Awal perkaranya memang cuma sepele. Gara-gara lupa memotongi dan alpa mengurus pertumbuhan kuku kaki Mas Celathu menyodok sudut kulit jempolnya. Semula biasa saja, tapi lama-lama membengkak dan baru jadi perkara setelah langkah Mas Celathu jadi terpincang-pincang lantaran sang jempol menggelembung dengan nanah di dalamnya.
Mas Celathu hanya bisa mengerang kesakitan. Dia cuma bisa lenger-lenger.
Pendeknya, dari secuil kuku, tubuh perkasa bisa rontok. Produktivitas mandeg. Aktivitas macet. Semua jadwal bubrah. ''Makanya jangan hanya memikirkan perkara-perkara besar. Sok ngomong politik. Pilkada. Korupsi. Ngrasani jendral besar. Sampeyan ini ora sembada. Cuma dikerjaian sama kuku aja langsung ambruk,'' ejek Mbakyu Celathu, sambil mengompres jempol yang kini segede bakpao.
''Iya, iya....saya sudah insyaf. Jangan diomeli terus ta. Semangkin diomelin, semangkin sakit. Wuaduh,....duh, duh,'' jawab Mas Celathu sengit, sambil tetap meringis kesakitan.
Dari ujung bawah kakinya, Mas Celathu merasakan bagimana rasa sakit itu merayap sampai ke otak. Selangkangannya juga terasa njarem. Suhu badannya meninggi. Kepala cekot-cekot seperti ada seratus jari menjitaki. Pandangan terasa kabur dan semua pemandangan yang dilihatnya jadi out of focus.
Dalam hajaran derita itu, Mas Celathu akhirnya menyadari bahwa dirinya tak boleh melakukan diskriminasi terhadap setiap bagian organ tubuhnya. Semua penting perannya. Jika salah satu bagian diabaikan, maka akibatnya bisa ke mana-mana. Bisa mengacaukan sistem dan mekanisme. Biar pun hanya sepotong kuku, jika tak diurus dengan baik nyatanya bisa bikin kehidupan macet.
Rasa sakit, juga sakitnya kehidupan masyarakat, acapkali memang tidak selalu disebabkan oleh hal-hal besar. Yang membuat tubuh ambruk, seringkali bukan hanya karena serangan jantung, hepatitis, darah tinggi, diabetes, stroke, gagal ginjal dan sebangsanya. Kuku di jempol kaki pun bisa pula jadi penyebab. Kata lain, ambruknya ekonomi dan rontoknya kehidupan sosial terkadang bukan hanya berkaitan dengan kebijakan makro ekonomi atau perang politik tingkat tinggi. Kedelai pun bisa jadi penyebab.
Mas Celathu tak habis pikir, bagaimana mungkin negara yang mayoritas warganya doyan makan tahu dan tempe, ternyata masih mengandalkan kedelai impor? Ironisnya, menurut sebuah sumber yang layak dipercaya, konon kedelai impor itu di sononya hanya layak sebagai pakan ternak karena kontaminasi kandungan racun dari pupuk pestisidanya melampaui ambang batas.
Kebenaran tentang hal ini, wallauhualambisawab. Eh sudah begitu pun, pemerintah masih juga gagal melakukan antisipasi, sehingga kekurangan persediaan itu menyebabkan harga kedelai melambung dan biasanya selalu diikuti lahirnya para penimbun yang selalu cari untung di tengah kesempitan. Edan ta?
Yang membuat Mas Celathu tambah mengernyitkan kening, ''Bagaimana mungkin semua itu bisa terjadi di sebuah negara agraris, yang cuaca dan musimnya memungkinkan akan tumbuh suburnya kedelai?''
Mas Celathu melenguh dan bergumam pelan, ''Walah, walah...terus Menteri Pertanian, juga sarjana-sarjana yang konon ciamik mengolah tanah dan tetumbuhan, selama ini kerjanya ngapain aja?''
''Sampeyan ya jangan lantas menyalahkan Pak Menteri. Yang beliau urus itu tidak hanya kedelai. Pertanian itu luas banget persoalannya. Ya nasib petani, soal pupuk, ketersediaan bibit, rekayasa genetika, perubahan musim, bencana banjir, teknologi pertanian. Dan, masih banyak lagi,'' Mbakyu Celathu mengingatkan.
''Lo, apa susahnya melakukan mobilisasi secara nasional tanam kedelai. Pemerintah menyiapkan bibit dan rabuk, petani yang bercocok tanam, dan hasil panennya pasti dibeli rakyat. La wong kebanyakan rakyat Indonesia masih mengonsumsi tahu tempe. Kan begitu ta, mata rantai hukum dagangnya. Jadi, tanpa impor, devisa kita nggak kemana-mana,'' kata Mas Celathu meyakinkan, menirukan lagak wakil rakyat yang sedang ngoceh, seperti pernah dilihatnya di layar televisi.
Jika dirasakan, omongan Mas Celathu yang menaburkan idiom-idiom ekonomi itu terasa asing meluncur dari mulutnya. Nggak match-lah. Terlebih ketika kemudian dia melanjutkan, ''Saya curiga, jangan-jangan ini memang ulah politisi yang ngobyek jadi calo impor kedelai.''
''Huss, sampeyan ini mbok jangan waton njeplak. Jangan sembarangan bicara,'' sergah Mbakyu Celathu.
''Abiiiis, gemes aku.''
Dalam fantasi Mas Celathu, kealpaan memikirkan dan mengurus penyelenggaraan kedelai secara nasional itu, sama serupa dengan dirinya yang alpa mengurus kuku sehingga membuat dirinya kesakitan. Ketika kedelai disepelekan, diabaikan, dan didiskriminasi kebijakannya, kesakitan demi kesakitan akan menghajar masyarakat. Bayangkan jika sampai setahun ini, ketersediaan kedelai -impor maupun ikhtiar swasembada- tidak segera terwujudkan, rasanya cukup ngeri membayangkan terjadinya badai sosial.
Tanpa kedelai, kita tak hanya bakal menyaksikan gelombang pengangguran anyar para perajin tahu, tempe, dan kecap -tapi juga merosotnya kualitas manusia yang tumbuh tanpa gizi dari tahu dan tempe. Mungkin inilah kesamaan nasib kuku kaki Mas Celathu yang hari ini membuat dirinya nyengir kesakitan. Rasa sakit itu bisa merayap kemana-mana. Hanya bermula dari kuku, eh kedelai.
Tapi kita belum tahu, apakah pemerintah juga bisa merasakan sakit itu? (46)
23.41

0 Responses to "http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2013/06/11/227308/Harus-Pandai-Mengambil-Hati-Anjing"

Posting Komentar