Subscribe to our RSS Feeds
Hello, this is a sample text to show how you can display a short information about you and or your blog. You can use this space to display text or image introduction or to display 468 x 60 ads and to maximize your earnings.

money

0 Comments »
KEGIATAN cuci - mencuci sebenarnya perkara baik-baik aja. Yang jorok sebangsa daki, lumut, debu, bakal sirna karena aktivitas pembersihan itu. Apalagi jika mencucinya pakai sabun. Mau makan wajib cuci tangan. Biar para kuman minggat, dan supaya pakaian tidak beraroma seng-breeeng, sekarang sudah ada sabun sekaligus pewangi yang bisa mengubah pakaian kotor menjadi bersih dan wangi. Kata iklan, malah bisa membuat yang sudah putih menjadi lebih putih. Lebih cling.
Tak ada yang meragukan bahwa kegiatan mencuci merupakan tugas yang mulia. Semua agama mengajarkan, kita harus senantiasa bersih lahir dan batin. Sebelum sembahyang, umat muslim musti ambil air wudu. Bukankah mengusir kekotoran "kotor jiwa maupun badan " dan menjadikannya lebih bersih, adalah sebuah kemuliaan? Tapi Bos Mburi, begitu panggilan abdi kinasih Mas Celathu yang memberesi urusan belakang, termasuk urusan cuci mencuci, jadi masgul ketika tempo hari mendengar heboh soal cuci-piringnya Presiden SBY.
"Ini aneh lho. Lha wong cuma ada orang mengaku sedang mencuci piring, kok orang lain sewot? Saya itu saban hari asah-asah, juga nggak ada masalah,"ujar Bos Mburi yang memang jagoan membikin kinclong piring di dapur.
Di keluarga Mas Celathu, Bos Mburi ini memang dikenal perfeksionis dalam urusan kebersihan. Apa pun yang dibersihkannya selalu berakhir licin mengkilap. Dengan tangkas dan dalam tempo sesingkat-singkatnya, dia bisa mengubah tumpukan piring kotor menjadi cling berkilau. Untuk membersihkan lantai, dia pantang menggunakan sapu, melainkan sulak bulu ayam alias kemoceng, sehingga Bos Mburi kerap dijumpai sedang ngesot, bahkan terkadang tiarap, saat membersihkan debu-debu di kolong lemari. "Kalau lalat belum kepleset, berarti lantainya belum bersih," ujarnya mengibaratkan kualitas sapuannya.
Menurut Bos Mburi yang kini usianya lebih setengah abad, tidak sepantasnya orang mengeluh hanya lantaran mencuci. Bahkan, seharusnya malah bersyukur. Membuat segala hal menjadi bersih, merupakan tugas mulia dan berpahala.
"Seharusnya Pak SBY jangan mengeluh. Kalau memang capek, kan bisa suruhan Paspampres yang galak-galak itu mbantu asah-asah. Lagian kalau beliau mau, kan bisa memerintahkan anggota partainya cuci piring rame-rame. Seru itu. Bisa didaftar ke MURI, sejuta orang cuci piring. Barang gampang kok dibikin angel," gugat Bos Mburi.
Mas Celathu yang sedari tadi mencoba menjadi pendengar yang baik dan benar, hanya senyam-senyum mendengar logika abdi yang sekaligus sahabatnya itu. Agaknya pemahaman simbolik terhadap kata kiasan yang bermakna ganda, belum benar-benar melekat dalam cara pikir Bos Mburi.
"Bos, yang dimaksudkan Pak SBY itu bukan cuci piring beneran. Itu cuma perumpamaan. Ibaratnya, koruptor pada berpesta mencuri harta negara, melakukan illegal loging, sementara pemerintah cuma kebagian membersihkan piring
"Oooo gitu ta? Tiwas saya gumun. Lha wong sudah punya pangkat presiden, kok ya masih kober-kobernya asah-asah," Bos Mburi manggut-manggut.
Sekarang ia mulai paham soal kiasan. Ternyata setiap kata bisa punya dua arti. Makanya, dia merasa musti berhati-hati bertutur kata, supaya tidak membuat dirinya disalahpahami. Pikirnya, semakin seseorang berpendidikan, semakin ngaco omongannya. Selalu saja ada ganjil. Sekarang soal cuci piring ia keliru menafsir. Padahal dalam urusan cuci - mencuci, masih banyak kiasan dengan kata cuci bertebaran: cuci mata, cuci tangan, cuci mulut, cuci gudang, cuci hati, cuci jiwa, cuci pikiran, dan sebangsanya.
"Saya dengar berita di tivi, lha kok ada pejabat pada mencuci uang. Apa ya nggak eman-eman ya, mosok uang kok dicuci? Apa ya nanti masih laku?"tanyanya tanpa bermaksud melucu.
"Niku nggih termasuk kiasan, Bos. Maksudnya, itu biasanya uang hasil korupsi yang diputer-puter dulu, dititipkan orang lain, dimasukkan bank terus ditarik kembali, dipinjamkan untuk usaha, dan seterusnya. Pokoknya, uang itu dijalankan kemana-mana sampai akhirnya seakan-akan uang itu jadi bersih, tidak terlacak lagi asal muasalnya. Itu namanya money laundry alias cuci uang,"dengan sabar Mas Celathu kasih penjelasan.
"Lha kalau cuci mata, apa ya supaya tidak ketahuan dari mana asalnya mata?"
"Yaaa tidak. Itu maksudnya iseng melihat-lihat pemandangan di tempat umum. Kalau sampeyan seharian capek membersihkan rumah, boleh cuci mata dolan ke mall. Gitu bos," Mas Celathu menerangkan lagi tanpa bosan.
Sebelum ditanya lebih jauh, Mas Celathu langsung nyerocos seperti guru bahasa. Mengartikan kiasan lain, cuci pikiran dan cuci gudang. Sambil menyandarkan badan di kursi mangkok di teras rumahnya yang asri, Mas Celathu bilang," Kalau cuci pikiran itu maksudnya seseorang itu dibersihkan dari cara berpikirnya masa lalu. Setelah pikiran kosong, biasanya otak diisi dengan cara berpikir yang baru, biasanya pikiran yang berbeda dengan cara berpikir sebelumnya."
"Cuci gudang artinya juga supaya kosong?"
"Persis. Itu artinya mengosongkan gudang. Biasanya mengobral barang di gudang dengan harga bantingan."
Bos Mburi yang semula agak mudheng, sekarang jadi rada puyeng. Orang sekolahan itu memang susah di-gugu. Tadi katanya kiasan soal cuci mencuci berarti bersih-bersih. Tapi rupanya bisa juga berarti, "supaya tidak terlacak" - "dolan ke mall" - "pengosongan otak" dan "jual obral" Jadi, kesimpulannya, dirinya harus waspada. Dalam hati ia berjanji akan bicara yang lurus-lurus saja. Tidak mau pakai kata kiasan. Salah-salah bisa membuat dirinya jadi tertawaan orang. Atau malah kena pasal penghinaan.
Bayangkan saja, kalau Bos Mburi tiba-tiba sok intelek dan menghamburkan kiasan begini: "Sebelum cuci piring, sebaiknya Bapak cuci pikiran dan cuci tangan. Setelah itu Bapak tinggal cuci uang, terus memborong barang-barang cuci gudang sambil sekaligus cuci mata."
Lha rak tenan. Untungnya kalimat ngawur itu hanya diucapkan dalam hati. Gawat kalau sampai ada yang mendengarkannya.(11)
23.44

0 Responses to "money"

Posting Komentar