Subscribe to our RSS Feeds
Hello, this is a sample text to show how you can display a short information about you and or your blog. You can use this space to display text or image introduction or to display 468 x 60 ads and to maximize your earnings.
0 Comments »
Mengontrol
Oleh : Dinamis Tulen,s.pd.i 150350235 | 26-Nov-2012, 05:54:59 WIB
KabarIndonesia - Sejarah negeri ini tidak pernah terlepas dari peran para pemuda yang tergabung dalam kelompok-kelompok aktivis. Mereka dengan kesadaran dan keamampuan untuk mengorganisir secara baik mampu membuat perubahan dibeberapa bidang.

Contoh nyata adalah peristiwa reformasi 1998 yang dipelopori kaum mahasiswa sebagai intelektual muda. Namun saya juga tidak sepaham bila yang dikatakan kaum intelektual muda hanyalah mereka yang berada dijajaran universitas, kaum pelajar pun pernah menorehkan sejarah sebagai pelopor perubahan dan menjadi pengkritis kebijakan pemerintah pada masa itu, misal organisasi PII yang memilki basis pelajar menjadi salah satu penentang kebijakan represif Orde Baru.

Namun sayang perubahan yang terjadi bukan malah menjadikan mereka para aktifis muda ini menjadi lebih kritis dan memberikan nilai lebih dimasyarakat. Gaung reformasi yang dianggap sebagai sebuah prestasi para aktivis dalam merubah struktur dan tatananan sosial berbanding terbalik dengan yang terjadi dikalangan intelektual muda kita.

Ujung-ujungnya mereka justru kembali terlena dengan gaya hidup yang tidak jelas, hedonis, kemampuan berpikir kritis yang amat minim, dan umumnya penyakit itu yang sekarang menerpa para aktifis-aktifis muda kita. Apa yang menyebabkan mereka menjadi sedemikian kaku begini? Rabun membaca lumpuh menulis…

Saya kira itu persoalan yang menjadi penyebab kemunduran dari inteletual-intelektual muda kita khususnya para aktifis., walaupun mungkin masih banyak persoalan lain. Kemampuan mereka untuk berorasi, kemampuan untuk meyakinkan publik tidak diimbangi dengan kemampuan mereka dalam membaca, buruknya kemampuan dalam hal menulis.

Padahal membaca dan menulis adalah salah satu katalisator perubahan, sejarah perubahan negeri ini tidak pernah terlepas dari mereka para aktifis-aktifis yang memilki kemauan dalam memetakan pemikirannya melaui bentuk tulisan. Faktanya, hanya beberapa ekor aktivis 98 yang bersedia berjuang dalam kesunyian dan menjauhi dunia gemerlap keaktivisan untuk melahirkan tulisan-tulisan yang membawa propaganda penyadaran masyarakat (Anjrah Lelono Broto).

Padahal tradisi menulis dan membaca memiliki nilai lebih mulia nan agung. Dalam agama pun membaca dan menulis tertuang didalam kitab suci, sebut saja ayat Iqra’ dalam surah al-‘alaq yang berarti ‘baca’,namun ummat nampaknya menanggapi ini dengan berlainan persepsi sehingga makna membaca ini adalah membaca secara empiris bukan secara visual. Dalam Al-Qur’an sendiri terulis, “Nun, demi pena dan apa yang mereka tulis.” (Qs. Al-Qolam [68] ayat 1).

Dalam beberapa ayat al-Quran ketika ayat yang berbunyi demi matahari berarti menunjukkan sumpah Tuhan akan pentingnya peran matahari dalam siklus kehidupan kita, ’demi waktu’ mengartikan pentingnya efisiensi waktu agar dapat lebih memanfaatkannya secara produktif.

Nah, ketika ayat demi pena ini tertulis, menunjukan betapa pentingnya peran dari sebuah tulisan yang mengalir melalui tinta-tinta ilmuan atau para intelektual. Malahan dalam sebuah hadis disebutkan Nabi memuji para ulama yang menuangkan gagasannya kedapam tulisan, “Di akhirat nanti, tinta para ulama itu, akan ditimbang dengan darah para syuhada”.

Situasi semakin diperparah dengan sistem pembelajaran kita yang masih menempatkan budaya membaca dan menulis kedalam status anak tiri. Coba kita lihat sendiri tidak ada mata pelajaran manapun yang mewajbkan siswanya untuk aktif dan efektif menulis, menulis hanya sebagai bumbu dalam menerima pelajaran. Ketika menulis hanya diartikan sebagai bumbu atau menempati posisi anak tiri, maka otomatis budaya membaca pun akan semakin pudar.

Oleh karenanya ‘tidak ada hal yang paling memalukan dalam system pendidikan kita kecuali lenyapnya tradisi membaca dan menulis’ (Eko Prasetyo). Kesadaran struktural dan personal. Maka apa yang perlu dilakukan?? diperlukan kesaran secara personal dari para intelektual-intelektual(aktivis) ini dengan menyadari bahwa membaca dan menulis memiliki peran nomor wahid dalam melakukan perubahan. Namun ini semua bukan semata-mata kesalahan dari para intelektual ini, sistem pendidikan negeri ini pun perlu sedikit dibenahi khususnya dalam penempatan tradisi membaca dan menulis.

Pendidikan negeri semestinya menempatkan posisi membaca dan menulis dalam posisi pertama sebuah pembelajaran. Malahan bila perlu mewajibkan para siswanya untuk menghasilkan sebuah karya tulis dalam bentuk apapun.Karenanya problem kemiskinan literasi ini termasuk kedalam problem struktural pendidikan kita yang musti kita kikis bersama. Melihat fenomena di atas sudah semestinya kita membuka kacamata kesadaran kita lebih luas untuk lebih berbenah diri.

Bagaimana kita ingin merubah orang lain, bagaimana kita ingin merubah kondisi lingkungan yang buruk jika kita sendri masih terkungkung dalam lautan kemiskinan ilmu pengetahuan yang disebabkan oleh miskinnya literatur. Kemiskinan literatur inilah yang menurut Prie G.S yang paling sering menerpa negeri kita, bukan hanya kemiskinan secara material.

Dan akhirnya negeri kita berada pada dua problema, pertama masalah kemiskinan material yang menerpa mayoritas masyarakat kita, kedua kemiskinan ilmu yang ditandai dengan minimnya daya kritis dan kemampuan berpikir secara sehat(khususnya membaca), dan ini mulai merasuk kedalam tubuh aktifis-aktifis modern sekarang.

Bila kita ingin berkaca sekali lagi tidak ada pendiri negeri ini yang paling banyak dan produktif menulis melebihi Bung Hatta. Tulisan dan gagasannya banyak dijadikan referensi oleh beberapa kaum intelektual dan beberapa ilmuan dunia dan lokal lainnya. Alangkah sayangnya bila Bung Hatta adalah generasi terkhir negeri ini yang memliki kemampuan literasi ini. Karena dari itu tulisan ini sengaja saya tujukan sebagai upaya penyadaran kepada para aktivis-aktivis yang masih membara, yang masih memiki nilai idelalisme murni, yang masih memiliki niat utuk melakukan perubahan.

Kini saatnya kita menyongsong perubahan tersebut dengan berlandaskan ilmu pengetahuan dan akal sehat, bukan lagi sekedar omongan kosong yang tidak sarat nilai apalagi dengan jalan radikal sebagai problem solve nya. Sudah saatnya aktifis bukan hanya pandai dalam berorasi namun juga pandai dalam melahirkan karya tulis yang berguna bagi kemajuan bangsa ini kelak. Semoga… (*)

Dinamis Tulen, Aktivis HMI dan Guru di MI Nurul Hidayah Jambi
22.32

0 Responses to " "

Posting Komentar