Pendidikan Berbasis Rumah Ibadah
Oleh : Imam Subkhan | 03-Nov-2012, 05:58:20 WIB
KabarIndonesia - Miris
dan memilukan. Dua kata itulah yang tepat untuk menggambarkan bagaimana
wajah pendidikan kita akhir-akhir ini. Kekerasan, kekejaman, tindakan
desktruktif, hingga pelecehan seksual yang dilakukan oleh generasi
terdidik kita terus saja berlangsung, seolah-olah tiada bermuara.
Belum
kering tanah makam Alawy Yusianto, 15 tahun, pelajar SMAN 6 Jakarta
yang menjadi salah satu korban tawuran pelajar beberapa waktu lalu, di
belakangnya muncul lagi rentetan peristiwa serupa, yang menunjukkan
bagaimana keberingasan pelajar kita di jalanan. Korban-korban yang terus
berjatuhan tersebut, ternyata tidak membuat kapok dan jera para pelaku
berikutnya.
Barangkali, berita-berita kekerasan yang dilakukan
kakak kelas inilah yang juga mengilhami para bocah yang masih duduk di
bangku SD untuk melakukan tindak premanisme terhadap rekannya sendiri di
kelas. Seperti diberitakan di Koran ini belum lama ini, tepatnya di
Sragen, beberapa siswa SD melakukan penganiayaan dan pelecehan seksual
kepada salah satu siswi SD di kelas. Parahnya, tindakan ini dilakukan
pada saat jam pelajaran.
Tidak hanya sampai di sini, kasus
tawuran yang merenggut korban jiwa juga terjadi di dunia perguruan
tinggi yang notabene dihuni oleh para kaum cendekiawan dan intelektual
muda, yaitu mahasiswa. Tidak tanggung-tanggung, dalam satu hari, dua
peristiwa tawuran antarmahasiswa terjadi di Makassar (11/10), yaitu di
Universitas Veteran RI (UVRI) dan Universitas Negeri Makassar (UNM).
Melihat
beberapa tragedi ini, sungguh yang namanya aura perilaku civitas
akademika yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan peradaban
sama sekali tidak tercermin lagi. Lalu pertanyaannya, mengapa aksi-aksi
kekerasan yang terjadi di kalangan pelajar seperti puncak gunung es,
yang di bawah permukaan ternyata menyimpan bara-bara yang siap meledak
kapan saja? Gagalkah sistem pendidikan karakter kita, dengan melihat
kenyataan bahwa perilaku premanisme telah merasuk di semua jenjang
pendidikan? Lalu, langkah strategis apa yang musti dilakukan untuk
membenahi dunia pendidikan kita yang kian hari kian terdegradasi?
Basis Pendidikan Agama
Penulis
tertarik, apa yang diwacanakan oleh mantan Wakil Presiden RI, Jusuf
Kalla (JK) baru-baru ini, yang mendorong pemerintah untuk memanfaatkan
tempat-tempat ibadah sebagai pusat pendidikan anak usia dini (PAUD).
Menurut JK, langkah ini akan meringankan beban pemerintah, salah satunya
dalam hal pemenuhan kebutuhan infrastruktur dan fasilitas PAUD. Usulan
ini ternyata mendapat respon positif dari Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan (Mendikbud), Mohammad Nuh, yang merencanakan untuk bisa
direalisasikan pada tahun 2013 mendatang.
Menurut saya, langkah
ini seyogyanya bukan kebijakan parsial, pragmatis, apalagi oportunis
yang sekadar memanfaatkan bangunan yang kurang optimal selama ini untuk
kepentingan kegiatan belajar dan mengajar bagi anak usia dini, tanpa
sebelumnya ada rancangan program yang sistemik, terpadu dan
berkelanjutan. Kebijakan ini, semestinya dikaitkan dengan
pengimplementasian pendidikan agama dan karakter melalui pendekatan
kontekstual. Dimana tidak sekadar menjejali anak dengan teori atau
pengetahuan semata, tetapi yang lebih penting adalah membawa anak pada
lingkungan yang tepat dengan cara pembiasaan dan pembudayaan sikap,
perkataan dan perilaku positif, baik dengan sesama maupun dengan
Tuhannya. Kita tahu, saat ini pemerintah dan seluruh pelaku pendidikan,
seolah-olah berada di jalan buntu sehingga mengalami kebingungan dalam
meramu dan menemukan strategi yang mujarab untuk pembentukan karakter
anak, mulai dari jenjang pendidikan anak usia dini hingga perguruan
tinggi. Tidak heran, jika tindak kekerasan dan tawuran semakin hari
menjadi tren dan gaya hidup para pelajar kita.
Oleh karena itu,
kebijakan memanfaatkan rumah ibadah sebagai sentra pendidikan harus
dipersepsikan sebagai penerapan strategi pendidikan karakter, dimana
penanaman nilai-nilai agama menjadi komponen pertama dan utama bagi
kurikulum pendidikan kita. Rumah ibadah tetap dikembalikan pada fungsi
utamanya, yaitu sebagai tempat pemujaan (baca: tata peribadahan) bagi
umat pemeluk agama untuk mendekatkan diri kepada Tuhannya. Dan yang
perlu digarisbawahi, bahwa pengertian ibadah dalam konteks pendidikan
harus dimaknai seluas-luasnya. Bukan sekadar urusan ritual dan
sembahyang. Sehingga, buah dari pendidikan agama sesungguhnya adalah
kesalehan pribadi, yaitu mencipta dan menjaga keharmonisan dengan Tuhan,
sesama manusia dan alam sekitarnya.
Barangkali, dogma dari
seorang ilmuwan bernama Albert Einstein, bahwa Ilmu pengetahuan tanpa
agama adalah pincang, harus semakin termanifestasi di dalam kurikulum
pendidikan kita. Artinya, semua pelaku pendidikan harus menyepakati,
bahwa pendidikan agamalah yang menjadi ruh dan esensi dalam pembentukan
kepribadian anak, baik di sekolah/kampus maupun di rumah. Sehingga
rencana kebijakan pemerintah tentang pemanfaatan rumah ibadah sebagai
basis pendidikan harus dimaknai dua hal. Pertama, mengoptimalkan
penggunaan tempat-tempat ibadah yang tersebar di masyarakat untuk
kepentingan dunia pendidikan, sebagaimana konsep awal dari Kemendikbud.
Kedua, menghadirkan rumah-rumah ibadah di sekolah-sekolah dan di
kampus-kampus untuk dijadikan pusat pendidikan karakter dan pembentukan
kepribadian para peserta didik.
Memang, hampir sebagian besar
sekolah, perguruan tinggi dan lembaga pendidikan lainnya sudah
dilengkapi dengan fasilitas tempat ibadah, seperti masjid, gereja, pura,
wihara dan sebagainya. Namun sejauh ini, peran dan fungsinya masih
sebatas tempat ibadah ritual, artinya belum terinternalisasi dengan
muatan kurikulum dan program pembelajaran. Rumah ibadah harus bisa
difungsikan sebagai laboratorium dan sentra belajar yang menjadikan
proses pembelajaran menjadi lebih bermakna. Karena itu, jika
disinergikan dengan muatan pendidikan, sesungguhnya sentra rumah ibadah
memiliki multi peran dan manfaat. Pertama, menjadi sentra mendisiplinkan
siswa. Sebagaimana diajarkan secara turun-temurun oleh para guru agama,
bahwa di setiap rumah ibadah, walaupun tidak secara tertulis, akan ada
etika dan tata cara yang harus dipatuhi oleh setiap individu yang
menjamahnya. Seperti mengucapkan salam, berpakaian bersih dan sopan,
berbicara yang bermanfaat secara pelan dan lembut, dan berperilaku baik
dan bersahaja. Jika hal ini terus dilakukan, maka menjadi kebiasaan dan
karakter positif bagi para peserta didik. Harapannya, perilaku positif
ini akan teraktualisasi juga di luar rumah ibadah. Sehingga, mereka
tidak lagi mau berdekatan dengan dunia kekerasan dan tawuran.
Kedua,
sentra membangun keimananan dan ketakwaan. Rumah ibadah pada hakikatnya
menjadi sarana bagi setiap individu untuk merefleksikan kehambaannya
kepada Sang Pencipta. Hikmahnya, adalah Tuhan selalu hadir dan mengawasi
setiap gerak-gerik kita. Sehingga, apa saja yang kita lakukan, selalu
dalam rangka mencari cinta dan kasih sayang-Nya, bukan kemurkaan-Nya.
Ketiga, sentra membangun kebersamaan dan kekeluargaan. Semua agama
selalu mengajarkan rasa kasih sayang, saling menghargai, empati dan
tolong-menolong terhadap sesama. Lihatlah suasana keakraban di rumah
ibadah, setiap mereka berpapasan, selalu mengucapkan salam dan saling
menanyakan kabar. Jika ada anggota jamaah yang sakit atau terkena
musibah, tanpa dikomando, mereka segera menjenguk, mendoakan dan
membantu semampunya. Keempat, sentra membangun budaya intelektualisme.
Sudah lazim adanya, bahwa rumah ibadah juga dijadikan sumber ilmu. Di
sini terjadi proses belajar mengajar dan ajang berdiskusi tentang
berbagai ilmu pengetahuan. Sikap dan budaya ilmiah akan tercipta di
sini, dimana setiap pendapat selalu dilandaskan pada referensi yang
kuat. Saling adu argumen (bukan adu fisik) di antara mereka dapat
semakin mendewasakan jiwa intelektualisme. Dan kelima, sentra
pengembangan seni dan budaya. Hampir setiap agama yang ada di Indonesia,
selalu memiliki ritus kesenian dan budaya yang berbeda-beda.
Pengembangan
keterampilan seni dan budaya ini sesungguhnya bisa menjadi ajang
aktualisasi diri bagi para peserta didik. Sehingga, dengan berbagai
kesibukannya tersebut, semakin menjauhkan mereka dari aktivitas dan
pergaulan yang tidak bermanfaat bagi diri dan masa depannya. ***
Penulis: Imam Subkhan, Humas Yayasan Lembaga Pendidikan Al Firdaus, tulisan ini pernah dipublikasikan di Harian Joglosemar